Kasus pandemi COVID-19 atau virus corona terus bertambah, untuk menekan bertambahnya angka penyebaran virus ini, pemerintah telah melakukan berbagai upaya, salah satunya melalui kebijakan kerja dari rumah atau Work-from-Home yang sudah mulai banyak diterapkan oleh berbagai perusahaan termasuk agensi Public Relations (PR).

Kegiatan seorang praktisi PR biasanya akan berhubungan langsung dan tatap muka dengan banyak orang seperti ketika meeting dengan klien, mengadakan konferensi pers, atau melakukan kunjungan ke media. Namun, di saat seperti sekarang di mana kita harus mengurangi pertemuan fisik untuk membantu upaya pemerintah dalam menekan angka penyebaran COVID-19, kegiatan PR pun harus dibatasi. Apakah kebijakan ini mempengaruhi kegiatan seorang praktisi PR?

Kembali ke 10-15 tahun lalu, kegiatan penyebaran informasi seperti siaran pers atau mengirim undangan liputan masih dilakukan melalui mesin fax, hubungan dengan jurnalis masih melalui sambungan telepon, dan pertemuan dengan klien masih melalui tatap muka. Namun, di zaman dengan teknologi yang super canggih saat ini, semua kegiatan tersebut bisa dilakukan melalui sebuah perangkat elektronik seperti komputer/ laptop atau bahkan sebuah telepon genggam yang didukung dengankoneksi internet yang semakin mudah diakses dari mana saja dengan biaya yang cukup terjangkau.

Berkat teknologi tersebut, sekarang semua kegiatan PR dapat dilakukan melalui e-mail ataupun social media yang dengan mudah bisa dikerjakan dari rumah. Bahkan, kini sudah menjadi hal yang lumrah untuk mengirimkan undangan liputan melalui aplikasi chat seperti WhatsApp, dengan catatan sudah mengenal jurnalis tersebut secara personal dan tetap memperhatikan etika yang baik ketika menghubungi jurnalis melalui aplikasi chat, misalnya dengan tidak menghubunginya di luar jam kerja.

Meeting dengan klien yang dulu biasanya dilakukan secara tatap muka, atau melalui sambungan telepon dengan biaya cukup mahal, kini dapat dilakukan melalui berbagai aplikasi meeting online seperti Skype atau Zoom yang bisa dilakukan dari mana saja termasuk dari rumah. Dengan demikian, kebijakan Work-from-Home seharusnya tidak menghalangi seorang PR untuk tetap beraktivitas meskipun tidak bertemu secara tatap muka.

Kegiatan konferensi pers yang biasanya dilakukan di sebuah tempat seperti hotel, restoran atau ruang serbaguna di mana para jurnalis bertemu langsung dengan penyelenggara acara secara fisik, kini bisa dilakukan melalui live streaming dengan fitur live chat sehingga jurnalis tetap dapat berinteraksi atau memberikan pertanyaan kepada penyelenggara acara. Kegiatan konferensi pers virtual ini, selain untuk mengurangi pertemuan fisik, juga akan jauh lebih hemat dari segi waktu dan biaya. Keuntungan lainnya adalah dapat dijangkau oleh jurnalis dari berbagai daerah sehingga informasi yang disampaikan akan menjangkau lebih banyak audiens.

Tentunya ada beberapa tantangan yang kita hadapi saat Work-from-Home, seperti misalnya terganggu dengan acara-acara keluarga, atau bisa juga dari binatang peliharaan yang menuntut perhatian. Oleh karena itu, sebagai praktisi PR, self-discipline sangat diperlukan ketika kita bekerja dari rumah, misalnya dengan menargetkan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan sehingga pekerjaan tersebut dapat selesai sesuai jadwal; mencari tempat di mana kita dapat konsentrasi bekerja tanpa ada yang mengganggu, misalnya di pojok rumah. Jangan sampai kita terbuai dan menunda-nunda pekerjaan sehingga pekerjaan jadi terbengkalai dan tidak selesai pada waktunya.

Dengan memanfaatkan teknologi yang super canggih, Work-from-Home tidak akan menghalangi seorang praktisi PR untuk tetap melakukan kegiatan seperti biasanya.

(Siti Aisyah)