Whistleblower istilah yang kian populer dan belum ditemukan padanan yang pas dalam Bahasa Indonesia kecuali “peniup peluit”, “saksi pelapor”, atau “pengungkap fakta”. Sesuai dengan surat edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2011 yang menterjemahankan whistleblower sebagai pelapor tindak pidana yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.

Jadi seorang whistleblower dipahami sebagai saksi pelapor; yang memberikan laporan atau kesaksian mengenai suatu dugaan tindak pidana kepada aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana. Untuk disebut sebagai whistleblower, saksi tersebut setidaknya harus memenuhi dua kriteria mendasar.

Kriteria pertama, whistleblower menyampaikan atau mengungkap laporan kepada otoritas yang berwenang atau kepada media massa atau publik. Dengan mengungkapkan kepada otoritas yang berwenang atau media massa, diharapkan dugaan suatu kejahatan dapat diungkap dan terbongkar.

Contoh yang lagi hangat adalah skandal Panama Papers, sebanyak 11.5 juta dokumen-dokumen dari firma hukum Mossack Fonseca yang berada di Panama, dibocorkan oleh seorang whistleblower anonim melalui harian Jerman Sueddeutsche Zeitung dan dibagikan ke lebih dari 100 kelompok media oleh International Consortium of Investigative Journalists. Skandal yang mengguncang dunia, karena bocoran dokumen ini merupakan yang terbesar dalam sejarah, melibatkan dugaan transaksi-transaksi finansial rahasia di luar negeri oleh berbagai pemimin dunia, selebritas dan bintang olah raga.

Sebelumnya pada tahun 2010 seorang whistleblower, Julian Assange, jurnalis dari Australia yang mendirikan whistle-blow website dengan nama WikiLeaks . Sebagai juru bicara WikiLeaks membocorkan dokumen militer dan kabel diplomatik yang bersifat rahasia , dan disebarkan dalam skala internasional. Yang pasti Julian sampai sekarang masih dikejar oleh banyak musuh-musuhnya.

Kriteria kedua, seorang whistleblower merupakan orang “dalam”, yaitu orang yang mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di tempatnya bekerja atau ia berada. Karena skandal kejahatan selalu terorganisir, maka seorang whistleblower kadang merupakan bagian dari pelaku kejahatan atau kelompok mafia itu sendiri. Dia terlibat dalam skandal lalu mengungkapkan kejahatan yang terjadi.

Dengan demikian, seorang whistleblower benar-benar mengetahui dugaan suatu pelanggaran atau kejahatan karena berada atau bekerja dalam suatu kelompok orang terorganisir yang diduga melakukan kejahatan, di perusahaan, institusi publik, atau institusi pemerintah. Laporan yang disampaikan oleh whistleblower merupakan suatu peristiwa faktual atau benar-benar diketahui si peniup peluit tersebut. Bukan informasi yang bohong atau fitnah.

Peran whistleblower sangat besar untuk melindungi negara dari kerugian yang lebih parah dan pelanggaran hukum yang terjadi. Tetapi resiko yang mereka hadapi pun juga besar ketika mengungkap kejahatan, mulai dari ancaman terhadap keamanannya. Bisa saja orang ini dikeluarkan dari instansi tempatnya bekerja, oleh karena itu seorang whistleblower memerlukan perlindungan.

Adakah Perlindungan Terhadap Whistleblower di Indonesia?

Hampir setiap kementrian memberikan sarana whistleblower, dengan perkembangan teknologi digital yang semakin maju, segala persyaratan serta pengaduan dari segenap masyarakat dapat didata dengan mudah dan cepat melalui sistem online dengan mengunjungi website-website resmi kementrian.

Ada lembaga yang melindungi whistleblower, yaitu Lembanga Perlindungan Saksi dan Korban. Namun ada beberapa hal yang menjadi hambatan dan masalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (“LPSK”) dalam perlindungan saksi dan korban sebagai pengungkap fakta (whistleblower), yaitu:

  1. Belum adanya dasar hukum yang kuat untuk menjamin perlindungan terhadap whistleblower, undang-undang yang ada masih bersifat umum terhadap saksi, pelapor dan korban. Kalau pun ada masih berupa Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2011.
  2. Belum adanya pemahaman dan perspektif bersama aparat penegak hukum dalam memberikan perlindungan terhadap whistleblower, kesepakatan bersama hanya di tingkat atasan, dan belum tersosialisasi di tingkat bawah maupun daerah.
  3. Belum maksimalnya pemberian perlindungan terhadap whistleblower. Hal ini karena Hakim masih mengabaikan rekomendasi aparat penegak hukum terhadap status seseorang sebagai whistleblower. Ini juga disebabkan SEMA sifatnya tidak punya kekuatan hukum mengikat.
  4. Peran LPSK masih terbatas dalam kewenangan yang dituangkan di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Bagi seorang whistleblower yang memilih untuk menuduh organisasi, baik swasta atau lembaga mungkin saja akan menghadapi resiko yaitu mendapat tindakan pemutusan hubungan kerja atau tuntutan hukum dan sipil. Pertanyaannya, mengapa seorang whistleblower memilih melakukan whistleblowing dan menindaklanjuti? Keputusan melakukan whistleblowing benar-benar sepenuhnya sebuah keputusan etis. Jika memang whistleblowing dipandang sebagai hal yang etis maka selayaknya para whistleblower mendapat perlindungan hukum.

Whistleblowing bukan hal fenomena baru, praktek ini sudah berjalan ribuan tahun, hanya saja keputusan dan tindakan telah menjadi sangat rumit dengan berjalannya kemajuan terkini dalam teknologi dan komunikasi.

(dari berbagai kumpulan sumber termasuk: wbs.menpan.go.id, www.hukumonnline.com, www.lpsk.go.id)

Sumber gambar