Dalam kehidupan kita banyak belajar dari berbagai sumber. Bukan hanya secara formal seperti dari sekolah, ataupun teori-teori yang ada di buku. Namun banyak kejadian-kejadian sekitar kita yang bisa kita ambil menjadi sebuah pembelajaran. Begitu juga dengan ilmu Public Relations (PR), kita bisa belajar tentang ilmu ini dari berbagai sumber. Pembelajaran tersebut bisa kita dapatkan bukan hanya pada kisah sukses, pembelajaran yang baik juga bisa kita ambil pada saat terjadi kegagalan ataupun bencana.

Salah satu kejadian yang terjadi beberapa tahun lalu yang sempat ramai diperbincangkan di media sosial, terutama oleh banyak anak muda, yaitu Fyre Festival. Ya, sebuah pesta dan festival musik mewah yang diorganisir oleh Billy McFarland, CEO dari Fyre Media Inc. dan rapper, Ja Rule.

Tapi festival ini dibatalkan karena banyaknya masalah yang dihadapi. Kejadian ini banyak menarik perhatian publik dan juga media, sehingga Netflix dan Hulu memutuskan untuk merilis cerita dokumentasi mengupas apa yang terjadi sehingga festival musik ini dibatalkan.

Singkat cerita Fyre Festival ini merupakan sebuah acara untuk mempromosikan sebuah perusahaan aplikasi bernama Fyre apps, yaitu sebuah aplikasi yang menyediakan jasa untuk mem’book’ artis dan talenta musik. Festival ini dijadwalkan berlangsung pada 28–30 April dan 5–7 Mei 2017, di pulau Great Exuma, Bahama.

Untuk mempromosikan festival ini, mereka menggunakan influncer terkenal seperti Kendall Jenner, Bella Hadid, Hailey Baldwin dan Emily Ratajkowski, banyak dari mereka pada awalnya tidak mengungkapkan bahwa mereka telah dibayar untuk melakukannya.

Selama akhir pekan peresmian Festival Fyre, acara tersebut mengalami masalah terkait keamanan, makanan, akomodasi, layanan medis, dan hubungan artis, sehingga festival ditunda tanpa batas waktu. Mereka menjanjikan  vila mewah dan makanan gourmet yang dibayar ratusan dolar oleh peserta festival, namun peserta festival hanya menerima sandwich yang sudah dikemas dan tenda FEMA sebagai akomodasi mereka.

Jika Anda tertarik untuk mengetahui cerita lengkapnya, Anda bisa menonton dokumentasi dengan mengakses dari Hulu dengan Judul: ‘Fyre Fraud’ atau dari Netflix dengan judul: ‘ Fyre: The Greatest Party That Never Happened’.

Jadi apa saja yang bisa kita ambil sebagai pembelajaran dari kegagalan Frye Festival ini?

  1. Influencer Marketing bekerja sangat efektif, tapi harus dengan strategi yang tepat.

Pada saat mempromosikan Fyre Festival ini, mereka banyak menggunakan influencer-influencer dengan nama besar. Influencer-influencer ini memiliki banyak follower dengan demografik anak muda, yang sesuai dengan target dari Fyre Fesitival itu sendiri.

Cara yang digunakan untuk mempromosikan festival ini juga cukup menarik, yaitu dengan cara memposting ‘the orange tile’ di instagram influencer-influencer tersebut secara bersamaan. Dengan begitu banyak orang akan merasa penasaran dan dengan otomatis engagement juga ikut naik.

Dengan penggunaan banyak influencer dengan nama besar, tentu ini sebuah effort yang membutuhkan dana besar. Bukanlah hal yang salah untuk menghabiskan bugdet yang besar untuk mempromosikan sebuah event ataupun produk, jika Anda memiliki budget yang besar.

Kembali lagi tujuan akhir dari promosi ini adalah membuat ‘big buzz’. Tapi bisa dilihat dari dokumenter, bahwa Fyre Festival mengalami kegagalan karena mereka mengeluarkan budget yang terlalu besar hanya untuk mempromosikan festival ini.

Jadi pembelajaran yang bisa kita ambil adalalah meskipun mereka berhasil dalam membuat buzz untuk acara tersebut, kita harus memiliki strategi yang jelas, dan mempertimbangkan budgeting sehingga kegiatan kita bisa berjalan dengan sukses sampai dengan tahap akhir.

  1. Komunikasi yang tidak berjalan dengan mulus.

Dari film dokumenter kita bisa melihat banyaknya krisis komunikasi yang terjadi. Krisis komunikasi ini terjadi secara internal yaitu komunikasi antar tim Fyre festival dan juga publik.

Tim Fyre festival juga tidak memberikan respon yang baik untuk menanggapi pertanyaan dari para tamunya, bahkan mereka memutuskan untuk menghapus beberapa pertanyaan dan pernyataan negatif berkaitan dengan festival ini. Ini adalah salah satu pantangan yang dilakukan sehingga membuat situasi yang ada semakin runyam.

Pelajaran yang kita bisa ambil adalah komunikasi merupakan hal yang penting selain itu keterbuakaan informasi juga merupakan hal penting, sehingga publik bisa percaya dan tidak merusak citra dari perusahaan.

  1. Tetap berpegang pada tujuan awal.

Setelah melihat kegagalan dari Fyre Festival itu sendiri, kira-kira berapa banyak orang yang mengetahui tujuan diadakannya festival musik tersebut yaitu untuk mempromosikan Fyre Apps?

Tapi apa yang terjadi kegiatan promosi mereka merupakan sumber malapetaka dan kerugian utama dari perusahaan aplikasi tersebut. Terkadang publisitas tampak seperti tujuan terbesar, tetapi jika tidak ada yang tahu apa yang Anda publikasikan, PR stunt hanyalah tontonan tanpa arti.

  1. Mengakui kesalahan lebih baik dari pada menutupinya.

Bisa dilihat dari film dokumenter Fyre Festival, bahwa Billy McFarland selaku CEO dari Fyre Media memilih untuk menutupi komentar. Berita dan juga segala sesuatu berbau negatif yang berkaitan dengan festival tersebut daripada meminta maaf secara formal pada saat ia tidak bisa memberikan apa yang sudah ia janjikan pada saat mempromosikan festival ini.

Hal ini membawa bencana dan juga banyaknya reaksi negatif dari media dan juga publik. Memang mengakui kesalahan adalah hal yang tidak mudah, namun meminta maafdan bersikap transparan merupakan opsi terbaik sehingga tidak membuat keadaan semakin runyam.

  1. Kampanye besar membutuhkan strategi terintegrasi.

Jika dilihat dari film dokumenter tersebut, tidak banyak ditunjukkan bahwa tradisional media digunakan sebagai bagian dari rencana PR mereka.

Satu-satunya berita yang masuk tentang acara tersebut berasal dari para tamu yang tidak puas di media sosial, tidak ada saluran komunikasi resmi dan kerjasama dengan pers secara resmi.

Ini nantinya akan memudahkan jalur komunikasi yang keluar kepublik dan juga bisa meningkatkan kepercayaan publik.

(oleh Fitri Frisdianti, praktisi Public Relations; referensi dari berbagai sumber)