Menjadi praktisi PR (Public Relations) selama tujuh tahun, saya telah bertemu dengan banyak wartawan dari berbagai media di berbagai kota di Indonesia. Banyak yang menggambarkan bahwa hubungan antara praktisi PR dengan wartawan seperti love-hate relationship. Sebagai orang yang berkecimpung di dunia ini, tentu saja saya setuju dengan gambaran hubungan tersebut.

Selama saya bekerja, bisa dibilang saya sering mendapat penolakan dari wartawan, baik penolakan untuk menghadiri acara, melakukan wawancara dengan klien, atau untuk mempublikasikan cerita yang saya kirim. Pernah juga menghadapi berbagai tantangan seperti wartawan menghindari panggilan telepon, tidak menjawab e-mail hingga mengabaikan pesan WhatsApp saya, padahal deadline dari klien sudah di depan mata.

Namun, tidak selamanya seperti itu. Ada pengalaman di mana wartawan menghubungi saya untuk mendapatkan cerita yang relevan dengan tema yang sedang mereka tulis, mendapat update informasi mengenai produk klien, hingga mengatur wawancara dengan narasumber. Gantian, kali ini saya yang dikejar-kejar agar mereka bisa menyelesaikan pekerjaan mereka sesuai deadline.

Kira-kira seperti itu lah gambaran mengenai love-hate relationship antara praktisi PR dan wartawan, di mana terkadang saling menghindari, tapi sering kali saling mencari. Karena pada dasarnya, baik praktisi PR atau pun wartawan, keduanya sama-sama bekerja untuk memberikan informasi kepada publik. Seperti Yin dan Yang, kedua belah pihak akan selalu melengkapi.

Praktisi PR membutuhkan wartawan karena media adalah outlet yang besar untuk memberi tahu publik tentang klien. Sementara itu, dengan berkurangnya ruang redaksi dan meningkatnya kecepatan teknologi, wartawan memiliki beban kerja dua kali lipat dan lebih sedikit waktu untuk meneliti dan melaporkan secara mendalam. Oleh karena itu, wartawan mebutuhkan praktisi PR untuk mendapatkan cerita, siaran pers, dan jawaban yang cepat untuk pertanyaan-pertanyaan mereka.

Untuk tetap menjaga hubungan yang baik dengan wartawan, praktisi PR harus mengenal wartawan dengan baik dan memahami kebutuhan mereka. Berikut beberapa tips agar hubungan dengan wartawan berjalan dengan baik:

  • Mengetahui latar belakang wartawan – mencari tahu industri apa yang menjadi fokusnya, bagaimana gaya penulisannya, serta pelajari tulisan-tulisan sebelumnya dari wartawan tersebut.
  • Memahami kebutuhan jurnalis dan pembaca – wartawan biasanya menerima ratusan e-mail berisi siaran pers atau undangan acara, maka dengan dengan mengetahui kebutuhan atau fokus tulisan wartawan tersebut, kita bisa menentukan apakah cerita kita relevan atau tidak untuk wartawan atau media tersebut. Semakin relevan cerita yang kita kirim, maka semakin besar pula kemungkinan cerita kita akan dipublikasikan.
  • Tidak menghubungi melalui media sosial pribadi jika tidak terlalu akrab atau bahkan belum pernah bertemu sama sekali, jangan menghubungi wartawan melalui media sosial pribadi. Mengirim siaran pers atau undangan melalui e-mail adalah cara terbaik, sebagian wartawan juga tidak keberatan jika kita melakukan follow-up melalui telepon atau pesan WhatsApp. Namun pastikan tidak mengubungi mereka di saat yang tidak tepat, misalnya pada saat hari atau jam-jam deadline.
  • Selalu siap jika dibutuhkan – ketika wartawan mencari informasi, mereka membutuhkannya dengan cepat. Tanggapi secepat mungkin dan jangan pernah mengabaikan pertanyaan dari wartawan. Jika belum sempat mengirim jawaban, luangkan waktu untuk menelepon atau mengirim email alasannya. Usahakan untuk mengirim tanggapan sebelum deadline.
  • Pastikan menyediakan informasi selengkap mungkin – ketika kita mengirim siaran pers atau melakukan story pitching, pastikan kita sudah menulisnya sebaik mungkin dan usahakan untuk selalu menyediakan gambar pendukung serta menyediakan nomor kontak jika sewaktu-waktu wartawan membutuhkan informasi tambahan, dan pastikan nomor kontak tersebut bisa dihubungi.

(oleh Siti Aisyah, praktisi Public Relations)