Diversifikasi minyak sawit dengan jagung dan cokelat akan menghasilkan potensi pendapatan masing-masing hingga 825 persen dan 495 persen lebih banyak daripada melakukan penanaman tunggal.
Jakarta, 21 Desember 2020 – Lembaga advokasi internasional dengan keahlian di bidang keuangan dan kebijakan publik, Climate Policy Initiative (CPI), meluncurkan laporan terkait penelitiannya di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, yang menunjukkan bahwa program diversifikasi tanaman berpotensi mengurangi risiko usaha dari terjunnya harga jual sawit, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani kecil swadaya yang selama ini sepenuhnya bergantung dari perkebunan kelapa sawit.
Laporan berjudul “Membina Ketahanan Ekonomi di Berau Melalui Diversifikasi Tanaman Rakyat” ini merupakan salah satu dari rangkaian penelitian yang dilakukan CPI di Berau sebagai bagian dari Proyek LEOPALD (Low Emission Palm Oil Development) atau “Pengembangan Minyak Sawit Emisi Rendah” yang dilaksanakan CPI bekerjasama dengan Konservasi Alam Nusantara dan GIZ Jerman.
Proyek ini bertujuan mendukung kegiatan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dalam menerapkan strategi Kesepakatan Pembangunan Hijau (Green Growth Compact) melalui kegiatan pengembangan minyak kelapa sawit yang lebih berkelanjutan.
Laporan tersebut menyebutkan bahwa bertanam kelapa sawit telah menjadi mata pencaharian utama para petani kecil swadaya (lahan 2-5 hektar) di Berau. Namun, hal itu tidak cukup untuk menutupi biaya hidup minimal mereka. Selain itu, ketergantungan berlebih terhadap perkebunan sawit sebagai sumber penghidupan juga menimbulkan berbagai risiko ekonomi bagi petani seperti fluktuasi harga jual sawit yang tidak stabil, rendahnya produktivitas lahan karena risiko iklim, dan kurangnya modal usaha.
“Kami menemukan bahwa menjual sawit saja tidak cukup untuk menghasilkan pendapatan yang layak bagi petani kecil di Berau dan hanya dapat menghasilkan pengembalian investasi pada tingkat yang jauh di bawah upah minimum di wilayah tersebut,” kata Tiza Mafira, Associate Director CPI Indonesia.
Menurut Tiza, kebun kelapa sawit seluas dua hektar disana hanya menghasilkan pengembalian 439 persen lebih rendah, atau 4.4 kali lipat lebih rendah, dari upah minimum dan pendapatan per kapita kabupaten kabupaten Berau berdasarkan pemodelan keuangan selama 25 tahun.
CPI juga melaporkan bahwa meski Kabupaten Berau telah berhasil menyediakan bahan pangan pokok seperti beras melalui program swasembada, ketergantungan pada kelapa sawit menyebabkan tergerusnya berbagai tanaman pangan dan palawija lainnya seperti cokelat dan lada. Akibatnya, ketahanan pangan di Berau menjadi terancam karena harus mendatangkan tanaman pangan dari daerah lain. Oleh karena itu, menurut CPI, program diversifikasi tanaman menjadi solusi yang tepat untuk menguatkan ketahanan pangan di Kabupaten Berau khususnya.
“Penelitian kami di Kabupaten Berau menunjukkan bahwa jagung adalah tanaman yang paling direkomendasikan untuk diversifikasi perkebunan kelapa sawit karena potensi penghasilan yang tinggi, kesiapan infrastruktur, dan kesenjangan pengetahuan yang rendah. Selain jagung, cokelat juga menjanjikan keuntungan yang besar,” lanjut Tiza.
Menurut Tiza, diversifikasi minyak sawit dengan jagung akan menghasilkan potensi pendapatan hingga 825 persen lebih besar daripada penanaman tunggal. Sementara itu, tanaman cokelat dapat menghasilkan potensi pendapatan hingga 495 persen lebih besar dibandingkan hanya bergantung pada satu tanaman.
Selain itu, diversifikasi tanaman perkebunan dapat membantu Kabupaten Berau mencapai pembangunan berkelanjutan sekaligus meningkatkan ketahanan ekonomi daerah. “Hal ini akan mendongkrak efektivitas penggunaan lahan dan mengurangi sensitivitas petani terhadap ketidakstabilan harga pasar. Di samping itu juga memberikan pendapatan tambahan bagi petani pada awal dan akhir dari siklus kehidupan kelapa sawit, atau ketika produksi turun dan bahkan gagal sama sekali,” lanjut Tiza.
CPI juga merekomendasikan bahwa untuk memastikan arus kas positif, diversifikasi tanaman sebaiknya dimulai selama periode di mana petani menghasilkan pendapatan tunai yang tinggi dari petak kelapa sawitnya. Hal ini karena masa-masa tersebut merupakan waktu yang tepat (bankable) untuk mengakses pinjaman keuangan untuk memodali usaha diversifikasi lahannya.
“Meski begitu, ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan konteks lahan milik petani,” ujar Tiza. Jika petani telah sepenuhnya menanami lahannya dengan kelapa sawit, mereka harus menunggu hingga produktivitasnya rendah atau bahkan tidak produktif lagi. Baru kemudian mereka bisa mendiversifikasi dengan tanaman lainnya. Hal ini karena perkebunan kelapa sawit sulit untuk ditumpangsarikan dengan tanaman lain.
Sementara itu, bagi petani yang telah mengalokasikan lahan kosong khusus untuk perkebunan lebih baik segera mulai memanfaatkannya untuk tanaman alternatif, daripada terus menanam kelapa sawit. “Risiko keuangannya akan jauh lebih kecil jika mereka memang memiliki petak perkebunan kosong dan mulai mendiversifikasi tanaman ketika produksi kelapa sawit mencapai puncaknya,” kata Tiza.