Pada beberapa waktu lalu, warganet sempat dihebohkan dengan unggahan di media sosial dari seorang YouTuber. Unggahan tersebut berupa surat teguran dari PT. Eigerindo Multi Produk Industri yang berisikan tentang keberatan dari pihak Eiger terhadap unggahan yang berupa video review produk dari akun YouTube channel bernama duniadian. Dalam video nya pemilik channel YouTube tersebut memberikan review positif terhadap produk yang ia review.
Didalam surat tersebut menyatakan alasan keberatan yang diajukan. Beberapa poin yang tertera dalam surat tersebut adalah mengenai aspek teknis dan kualitas gambar yang kurang sehingga pihak Eiger menilai jika video tersebut tidak mencerminkan produk dari Eiger yang direview oleh pemilik channel YouTube tersebut.
Tidak membutuhkan waktu lama unggahan tersebut menerima perhatian publik. Kejadian ini menjadi pembicaraan hangat serta menuai banyak respon negatif terhadap brand alat-alat perlengkapan aktivitas luar ruangan (outdoor) tersebut. Permasalahan ini tentu membuat publik berkomentar kenapa sebuah brand memberikan sebuah surat teguran yang ditujukan kepada konsumen dari produk mereka sendiri. Sedangkan sebagai konsumen memiliki hak untuk bebas berpendapat tentang sebuah produk yang ditawarkan oleh sebuah brand.
Jika kita lihat kembali dari surat teguran tersebut memang pihak Eiger tidak komplain tentang isi dari video review yang di unggah, melainkan aspek teknis dari video tersebut dengan alasan jika dalam video tersebut produk mereka terlihat berbeda dan tidak mencerminkan produk yang sebenarnya. Sebagai praktisi PR tentu kita paham kekhawatiran dari Eiger jika ada foto atau video produk terlihat tidak sama sehingga bisa memberikan persepsi yang salah kepada publik terhadap produk tersebut. Tentu ini akan mempengaruhi citra atau bahkan kepercayaan publik terhadap brand tersebut. Namun perlu diingat video tersebut bukanlah video untuk endorsement produk.
Kasus seperti ini memang bukanlah pertama kali terjadi, hal yang sama juga pernah terjadi pada Garuda. Pada tahun 2019 lalu Serikat Karyawan Garuda Indonesia (Sekarga) melawan video blogger (vlogger) Rius Vernandes. Ketika itu, Rius yang merupakan penumpang kelas bisnis Garuda membuat video yang menyoroti menu kelas bisnis yang hanya secarik kertas bertulisan tangan di Instagram story-nya @rius.vernandes. Perbedaan dari dua kasus ini tentu sangat jelas, pada kasus Garuda itu dinilai lebih parah, karena sudah masuk ke ranah hukum lewat pelaporan polisi.
Kesalahan komunikasi tersebut bisa berpengaruh terhadap citra yang brand dan perusahaan. Ini akan memberikan citra yang tidak baik karena publik sudah terlanjur membentuk persepsi sendiri terhadap brand sebagai akibat dari kejadian tersebut. Memang setelah terjadinya kejadian ini, pihak Eiger mengakui kesalahannya dan meminta maaf secara terbuka.
Dari kejadian ini beberapa pihak memberikan pendapat dan sarannya. Seperti Ketua Departemen Pendidikan Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI), Arya Gumilar berpendapat, nilai, visi dan misi Eiger sebagai brand ternama tidak sampai ke seluruh karyawan di perusahaan tersebut. Arya juga menyatakan bahwa dari segi PR ini bukan hanya masalah perorangan atau divisi yang bersangkutan. Di era interaksi seperti sekarang, semua karyawan adalah duta perusahaan, ia juga menekankan brand pourpose harus dipahami oleh seluruh karyawan. Selain itu Eiger juga harus memposisikan diri di publik. Sehingga jika ada individu yang memberikan pendapat mengenai produk mereka, mereka harus menerima nya dengan baik, karena brand mereka merupakan ‘miliki publik’.
Ada pula Pengamat marketing dan Managing Partner Inventure, Yuswohady berpendapat dalam kejadian seperti ini ia menyarankan alangkah baiknya perusahaan atau brand lebih berhati-hati dalam merespons komentar dari konsumen, dan menggunakan pendekatan personal.
Director-Senior Consultant Inke Maris & Associates, Widyaretna Buenastuti, mengatakan bahwa kasus yang dialami Eiger adalah miskomunikasi perusahaan atau brand yang mengakibatkan kegaduhan publik. Ini berpotensi menggerus brand identity produk dan reputasi perusahaan. Selain berpengaruh pada brand identity produk dan reputasi, ada tiga faktor yang mengakibatkan krisis komunikasi ini, pertama, penggunaan bahasa hukum kepada konsumen untuk konten yang tidak berhubungan dengan hukum.Kedua, surat disampaikan secara tertulis dan formal dari bagian hukum kepada konsumen tanpa ada unsur hukumnya. Serta ketiga, ada unsur kata-kata yang memerintah konsumen untuk memperbaiki dan menghapus konten, daripada merangkul.
(oleh Fitri Frisdianti, praktisi Public Relations; referensi dari berbagai sumber)