Dulu Public Relations (PR) dan marketing adalah disiplin ilmu yang berbeda, namun kedua disiplin ilmu ini berevolusi dengan lingkup kegiatan yang lebih besar. Masing-masing disiplin ilmu tetap ditentukan oleh intinya: manajemen reputasi dan persepsi untuk PR, dan penjualan untuk marketing — tetapi seiring berjalannya waktu, industri ini menjadi saling melengkapi

Fenomena ini meningkatkan nilai PR dalam konteks pemasaran, yang mengarah ke strategi komunikasi yang disebut kampanye pemasaran terpadu (integrated marketing campaign), yang biasanya mencakup campuran dari kedua disiplin ilmu.

Contoh yang bagus dari fenomena ini adalah influencer marketing. Influencer marketing memiliki semua karakteristik PR: tujuan untuk mempengaruhi melalui tulisan atau percakapan, target audiens, pesan utama, strategi — kecuali untuk satu fakta penting: influencer marketing adalah publisitas yang dibayar. PR selalu memastikan bahwa orang-orang yang berpengaruh yang berbicara atau meng-endorse sebuah brand ide, atau proyek. Namun, keberadaan platform digital mengubah dinamika dan menciptakan peluang baru bagi sebuah brand untuk menjangkau audiens mereka.

Dalam kondisi apa seseorang berhak untuk disebut sebagai influencer? Influencer adalah status yang biasanya berkaitan dengan popularitas atau kemampuan untuk mempengaruhi orang lain – di media sosial, biasanya berhubungan dengan jumlah follower.

Karena saluran PR tradisional seperti pembaca media cetak dan penonton televisi terus menurun, agensi PR harus menemukan cara baru dan inovatif untuk untuk meningkatkan exposure di sosial media karena kami perlu menjangkau audiens yang lebih banyak menghabiskan waktunya di sosial media dan tidak menonton televisi, membaca majalah dan koran, atau mendengarkan radio lagi.

Saya pertama kali mengenal istilah influencer marketing pada tahun 2013. Klien kami saat itu, salah satu perusahaan teknologi audio terkemuka, baru saja meluncurkan produk terbarunya. Selain mengadakan konferensi pers yang mengundang media, kami juga mengirimkan produk tersebut ke beberapa influencer dari berbagai bidang seperti musisi, aktris, hingga lifestyle blogger. Hasilnya, produk tersebut di-posting di akun sosial media mereka sehingga kami dapat mejangkau audiens yang lebih luas.

Pengalaman lain di tahun 2015, ketika kami menangani salah satu jaringan hotel yang memiliki properti di berbagai negara, kami menawarkan kepada para influencer untuk menginap gratis di semua properti hotel sesuai dengan keinginan mereka, sebagai gantinya mereka akan mem-posting pengalamannya di akun media sosial mereka. Cara seperti ini terbukti cukup efektif untuk mempengaruhi audiens karena pesan yang disampaikan akan terlihat lebih tulus dan lebih dapat dipercaya karena berdasarkan pengalaman mereka sendiri.

Meskipun influencer marketing tidak bisa sepenuhnya disebut earned influence, karena masih ada biaya yang dikeluarkan seperti misalnya dalam contoh di atas yaitu untuk harga produk dan biaya menginap di hotel, namun kami tidak mengeluarkan biaya tambahan untuk membayar para influencer tersebut.

Influencer marketing telah menjadi komponen penting dari PR dan kampanye pemasaran dalam beberapa tahun terakhir, dan kemungkinan masih akan terus mengalami pertumbuhan seiring dengan semakin banyaknya agensi atau platform influencer marketing di Indonesia.

Tantangannya sebagian besar terletak pada pemilihan influencer yang tepat untuk menyampaikan pesan dan, jenis perjanjian yang disepakati (misal hanya satu kali posting atau kolaborasi eksklusif), dan bagaimana konten dapat diadaptasi untuk mengoptimalkan relevansinya. Ini bukan tugas yang mudah, tetapi seorang profesional PR dapat membantu.

(oleh Siti Aisyah, praktisi Public Relations; referensi dari berbagai sumber)