Istilah new normal saat ini seringkali kita dengar dari berbagai media hingga menjadi perbincangan dalam obrolan sehari-hari. Dikutip dari Detik.com, new normal adalah langkah percepatan penanganan COVID-19 dalam bidang kesehatan, sosial, dan ekonomi. Skenario new normal dijalankan dengan mempertimbangkan kesiapan daerah dan hasil riset epidemiologis di wilayah terkait. Memasuki era new normal ini, masyarakat diminta untuk tetap menjaga jarak secara fisik untuk menekan penyebaran COVID-19.

Sebagai praktisi PR, saya selalu berpikir bahwa interaksi yang paling baik adalah interaksi secara tatap muka, bukan melalui teknologi seperti panggilan telepon, pesan teks, atau video call yang saat ini banyak digunakan. Menurut saya, interaksi secara tatap muka juga lebih efektif karena bisa menciptakan hubungan yang lebih kuat.

Namun, di tengah pandemi COVID-19  saat ini, bertemu dengan orang banyak atau bahkan berkumpul di satu tempat untuk menghadiri sebuah acara adalah hal yang harus dihindari. Saya menyadari banyak hal telah berubah, dan kini sebagian besar media fokus untuk membahas COVID-19. Sebagai praktisi PR, kita juga harus memulai beradaptasi dengan new normal.

Saya bertanya kepada beberapa rekan wartawan untuk mengetahui bagaimana mereka mendapatkan berita di tengah pandemi ini. Mereka mengatakan bahwa mereka sudah mulai menerapkan work-from-home sejak wabah ini mulai merebak di Indonesia. Semua liputan dilakukan melalui wawancara lewat panggilan telepon atau email.

Ada juga wartawan yang tetap harus ke kantor atau liputan ke lapangan karena membutuhkan stok gambar, maka hal ini biasanya dilakukan secara bergantian atau shifting. Media-media juga mengirimkan wartawannya untuk liputan hanya untuk peristiwa-peristiwa yang dianggap sangat penting, misalnya aktivitas presiden yang meninjau persiapan new normal.

Sementara itu, berkat kemajuan teknologi, para wartawan ini juga mendapatkan informasi melalui konferensi pers virtual sehingga mereka tidak perlu ke luar rumah. Banyak pihak yang sudah mengaplikasikan konferensi pers secara virtual, mulai dari produk smartphone, bank, ajang olahraga seperti UFC, hingga berbagai kementerian di Indonesia seperti Kementerian Perhubungan dan Kementerian BUMN.

Hal ini membuat saya belajar bahwa apa yang terjadi saat ini justru membuat kami menemukan cara baru yang efisien untuk menyebarkan informasi dan berinteraksi dengan wartawan. Dengan waktu yang lebih efisien karena tidak perlu berpergian ke luar rumah, biaya yang dikeluarkan juga akan lebih sedikit.

Mungkin untuk saat ini, pertemuan secara virtual tidak bisa menggantikan pertemuan secara tatap muka, tapi tidak menutup kemungkinan, ini akan menjadi sesuatu yang normal di masa mendatang.

(Oleh Siti Aisyah, praktisi Public Relations)